Indonesia adalah negara yang memiliki
label sawit sebagai pencetak devisa negara terbesar di sektor non migas, hal
ini karena kita mempunyai keunggulan komperatif yaitu sebagai negara beriklim
tropis sehingga sangat efisien dan efektif untuk mengembangkan sawit sebagai
sumber devisa terbesar Indonesia. Melihat potensi yang sangat besar, Indonesia
berupaya melakukan penyelidikan untuk mencari inovasi-kreatif, prospektif dan
unggul dalam meningkatkan perekenomian Indonesia dalam segala bidang kehidupan.
Kelapa sawit diyakini sebagai sumber daya hebat, handal, berkualitas, dan berdaya
saing tinggi di dunia international
terutama di bidang energi terbarukan.
Kenapa bisa ya sawit dapat dijadikan bahan baku bioenergi terbarukan?
Kenapa bisa ya sawit dapat dijadikan bahan baku bioenergi terbarukan?
Ada beberapa alasan kelapa sawit
sangat potensial dimanfaatkan sebagai bahan baku bioenergi terbarukan di
Indonesia karena empat alasan yaitu jenis bahan baku atau sumber daya alam dan
potensi pemanfaatannya besar, kebijakan tarif harganya menguntungkan,
menyumbang penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), menampung banyak tenaga kerja.
Indonesia semenjak tahun 2006 sudah menjadi net
importer Bahan Bakar Minyak (BBM) karena terjadi defisit produksi dan
konsumsi sebesar 80,9 juta liter per hari atau 700 ribu barel per hari. Defisit
ini dapat diatasi dengan memproduksi bioenergi dari kelapa sawit berupa
biodiesel, briket, listrik dari Pembangkit Listrik Biomassa (PLTBm) dan
Pembangkit Listrik Biogas (PLTBg). Potensi yang besar ini membutuhkan percepatan aplikasi bioenergi dari kelapa sawit dengan optimalisi hasil riset-riset kampus di Indonesia, pemberian reward untuk perusahaan, rancangan roadmap bioenergi dari pemerintah dan perlu adanya BUMD Bioenergi di daerah-daerah.
(Proses Pengolahan Kelapa Sawit)
Upaya apa saja yang telah dilakukan untuk memaksimalkan sawit sebagai sumber energi nasional?
Pemerintah Indonesia terus berupaya
untuk memaksimalkan pemanfaatan komoditas pertanian dalam negeri khususnya
kelapa sawit guna memenuhi kebutuhan energi nasional. Keseriusan ini
ditunjukkan dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah ESDM No. 25 Tahun 2013 yang
merupakan perubahan atas Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008, dimana dalam
peraturan tersebut pemerintah menegaskan perlu dilakukan peningkatan porsi
pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) dalam pemenuhan energi bahan bakar minyak
(BBM) sebesar 10% pada bahan bakar biodiesel. Pemanfaatan ini dilakukan melalui
mekanisme blending (pencampuran
biodiesel dengan solar) atau yang dikenal dengan istilah B10, dimana dari
setiap liter BBM perlu ditambah 10% biodiesel. Upaya ini memberikan hasil
positif bagi perekenomian nasional,. Menurut data Direktorat Bioenergi ESDM,
tahun 2013 penerapan kebijakan ini mampu menghemat devisa negara (khususnya
dari pemanfaatan biodiesel).
Pemerintah juga telah menetapkan
kebijakan Mandotari B20 (campuran 20% biodiesel sawit) sejak tahun 2016 yang
bertujuan menekan impor gas dan defisit transaksi perdagangan. Kebijakan ini
kemudian diperluas cakupannya ke sektor Non-PSO (Public Service Obligation) seperti sektor pertambangan,
kelistrikan, transportasi laut, dan perkeretaapian pada September 2018. Langkah
ini terbukti berhasil menurunkan impor solar secara signifikan. Implementasinya
pun telah mencapai rata-rat 97,5% pada tahun ini. Pusat rekayasa Katalis
Institut Teknologi Bandung bersama dengan Pertamina Research and Technology Centre (RTC) pun telah mengembangkan
katalis khusus yang akan menjadi pendorong diproduksinya green fuel berbasis minyak sawit menjadi bahan bakar non fosil
(nabati). Katalis bernama BIPN ini dapat memproduksi bahan bakar beroktan 90
sampai dengan 120 yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Katalis sendiri adalah
salah satu komponen penting dan kunci teknologi proses yang digunakan pada
berbagai industri mulai dari kimia, petrokimia, pengilangan minyak dan gas, termasuk teknologi energi terbarukan
berbasis biomassa dan minyak nabati yang hasilnya sama persis dengan senyawa
pada energi fosil.
(Bahan Bakar Nabati (BNN)
Hasil
pengembangan katalis di Laboratorium ITB ini
tentunya juga bisa diarahkan sebagai substitusi impor yang akan menghemat
devisa negara. Pemerintah menghargai komoditas lokal seperti CPO menjadi green fuel yang setara dengan solar atau
pertamax sehingga mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM. Lebih lanjut
pemerintah menghimbau agar kementerian, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa
Sawit (BPDP-KS), PT Pertamina (Persero) serta BUMN senantiasa memberikan
dukungan penuh terhadap pengembangan Bahan Bakar Nabati ( BNN) sehingga
Industri Biohidrokarbon Nasional guna mendukung ketahanan energi pun dapat
diwujudkan. Kedepannya pemerintah akan menerapan kebijakan B30 dan B50
(campuran B30 dan D20) dan pemerintah bersama ITB juga akan mengembangkan
pabrik katalis merah putih yang beroperasi tahun 2020. Dengan demikian kita
dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM sekaligus mengantarkan
kelapa sawit berjaya sebagai komoditas primadona Indonesia di pasar global.
Serta pabrik katalis yang dikembangkan akan sangat membantu Indonesia mandiri
dalam teknologi proses dan ketahanan energi nasional.
590 kata
#SawitKuat
#IndonesiaHebat
590 kata
#SawitKuat
#IndonesiaHebat
Daftar
Pustaka
Goenadi,
Didiek H. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agrobisnis Kelapa
Sawit di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Papilo,
Petir & Tajuddin, Bantacut. 2016. Klaster Industri Peningkatan Daya Saing
Agroindustri Bioenergi Berbasis Kelapa Sawit. Jurnal Teknik Industri. Vol 9 (2), Hal (87-96).
Siregar,
Kiman. 2018. Menyambut Kehadiran Kelapa Sawit Sebagai Penopang Ketahanan
Nasional dan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Monitor Isu Strategis Sawit. Vol 4(37/09/2018), Hal (1296-1304).
Soegiarto,
Eddy. 2017. Pengaruh Sawit Sebagai Penggerak Perekonomian Indonesia Terhadap
Pelestarian Hutan. Jurnal Legalitas.
Vol 2(1), Hal (81-89).
Wow... Nambah pengetahuan lagi nih..
BalasHapusGood info
BalasHapussemoga bermanfaat ya
HapusAda yg baru
BalasHapussemoga bermanfaat ya...
Hapus