Senin, 16 September 2019

Sawit Sumber Energi Inovasi Menuju Indonesia Emas 2045

      Indonesia adalah negara yang memiliki label sawit sebagai pencetak devisa negara terbesar di sektor non migas, hal ini karena kita mempunyai keunggulan komperatif yaitu sebagai negara beriklim tropis sehingga sangat efisien dan efektif untuk mengembangkan sawit sebagai sumber devisa terbesar Indonesia. Melihat potensi yang sangat besar, Indonesia berupaya melakukan penyelidikan untuk mencari inovasi-kreatif, prospektif dan unggul dalam meningkatkan perekenomian Indonesia dalam segala bidang kehidupan. Kelapa sawit diyakini sebagai sumber daya hebat, handal, berkualitas, dan berdaya saing tinggi  di dunia international terutama di bidang energi terbarukan.
Kenapa bisa  ya sawit dapat dijadikan bahan baku bioenergi terbarukan?
      Ada beberapa alasan kelapa sawit sangat potensial dimanfaatkan sebagai bahan baku bioenergi terbarukan di Indonesia karena empat alasan yaitu jenis bahan baku atau sumber daya alam dan potensi pemanfaatannya besar, kebijakan tarif harganya menguntungkan, menyumbang penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), menampung banyak tenaga kerja. Indonesia semenjak tahun 2006 sudah menjadi net importer Bahan Bakar Minyak (BBM) karena terjadi defisit produksi dan konsumsi sebesar 80,9 juta liter per hari atau 700 ribu barel per hari. Defisit ini dapat diatasi dengan memproduksi bioenergi dari kelapa sawit berupa biodiesel, briket, listrik dari Pembangkit Listrik Biomassa (PLTBm) dan Pembangkit Listrik Biogas (PLTBg). Potensi yang besar ini membutuhkan percepatan aplikasi bioenergi dari kelapa sawit dengan optimalisi hasil riset-riset kampus di Indonesia, pemberian reward untuk perusahaan, rancangan roadmap bioenergi dari pemerintah dan perlu adanya BUMD Bioenergi di daerah-daerah.

(Proses Pengolahan Kelapa Sawit)

Upaya apa saja yang telah dilakukan untuk memaksimalkan sawit sebagai sumber energi nasional?

      Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk memaksimalkan pemanfaatan komoditas pertanian dalam negeri khususnya kelapa sawit guna memenuhi kebutuhan energi nasional. Keseriusan ini ditunjukkan dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah ESDM No. 25 Tahun 2013 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008, dimana dalam peraturan tersebut pemerintah menegaskan perlu dilakukan peningkatan porsi pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) dalam pemenuhan energi bahan bakar minyak (BBM) sebesar 10% pada bahan bakar biodiesel. Pemanfaatan ini dilakukan melalui mekanisme blending (pencampuran biodiesel dengan solar) atau yang dikenal dengan istilah B10, dimana dari setiap liter BBM perlu ditambah 10% biodiesel. Upaya ini memberikan hasil positif bagi perekenomian nasional,. Menurut data Direktorat Bioenergi ESDM, tahun 2013 penerapan kebijakan ini mampu menghemat devisa negara (khususnya dari pemanfaatan biodiesel).
      Pemerintah juga telah menetapkan kebijakan Mandotari B20 (campuran 20% biodiesel sawit) sejak tahun 2016 yang bertujuan menekan impor gas dan defisit transaksi perdagangan. Kebijakan ini kemudian diperluas cakupannya ke sektor Non-PSO (Public Service Obligation) seperti sektor pertambangan, kelistrikan, transportasi laut, dan perkeretaapian pada September 2018. Langkah ini terbukti berhasil menurunkan impor solar secara signifikan. Implementasinya pun telah mencapai rata-rat 97,5% pada tahun ini. Pusat rekayasa Katalis Institut Teknologi Bandung bersama dengan Pertamina Research and Technology Centre (RTC) pun telah mengembangkan katalis khusus yang akan menjadi pendorong diproduksinya green fuel berbasis minyak sawit menjadi bahan bakar non fosil (nabati). Katalis bernama BIPN ini dapat memproduksi bahan bakar beroktan 90 sampai dengan 120 yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Katalis sendiri adalah salah satu komponen penting dan kunci teknologi proses yang digunakan pada berbagai industri mulai dari kimia, petrokimia, pengilangan minyak  dan gas, termasuk teknologi energi terbarukan berbasis biomassa dan minyak nabati yang hasilnya sama persis dengan senyawa pada energi fosil.

(Bahan Bakar Nabati (BNN)

      Hasil pengembangan katalis di Laboratorium ITB ini  tentunya juga bisa diarahkan sebagai substitusi impor yang akan menghemat devisa negara. Pemerintah menghargai komoditas lokal seperti CPO menjadi green fuel yang setara dengan solar atau pertamax sehingga mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM. Lebih lanjut pemerintah menghimbau agar kementerian, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), PT Pertamina (Persero) serta BUMN senantiasa memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan Bahan Bakar Nabati ( BNN) sehingga Industri Biohidrokarbon Nasional guna mendukung ketahanan energi pun dapat diwujudkan. Kedepannya pemerintah akan menerapan kebijakan B30 dan B50 (campuran B30 dan D20) dan pemerintah bersama ITB juga akan mengembangkan pabrik katalis merah putih yang beroperasi tahun 2020. Dengan demikian kita dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM sekaligus mengantarkan kelapa sawit berjaya sebagai komoditas primadona Indonesia di pasar global. Serta pabrik katalis yang dikembangkan akan sangat membantu Indonesia mandiri dalam teknologi proses dan ketahanan energi nasional.

590 kata
#SawitKuat
#IndonesiaHebat


Daftar Pustaka 

Goenadi, Didiek H. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agrobisnis Kelapa Sawit di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Papilo, Petir & Tajuddin, Bantacut. 2016. Klaster Industri Peningkatan Daya Saing Agroindustri Bioenergi Berbasis Kelapa Sawit. Jurnal Teknik Industri. Vol 9 (2), Hal (87-96).

Siregar, Kiman. 2018. Menyambut Kehadiran Kelapa Sawit Sebagai Penopang Ketahanan Nasional dan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Monitor Isu Strategis Sawit. Vol 4(37/09/2018), Hal (1296-1304).


Soegiarto, Eddy. 2017. Pengaruh Sawit Sebagai Penggerak Perekonomian Indonesia Terhadap Pelestarian Hutan. Jurnal Legalitas. Vol 2(1), Hal (81-89).







 

5 komentar: